Friday, November 18, 2011

PANTAI NGOBARAN

Pantai Ngobaran yang berlokasi di desa Kanigoro kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta merupakan pantai yang masih alami dan sangat indah. Dari Wonosari yang merupakan kabupaten Gunungkidul berjarak sekitar 35 km ke arah selatan. Pantai Ngobaran, salah satu eksotisme yang terpendam di jajaran pesona Gunungkidul ini, berada 2 km arah barat pantai Ngrenehan. Pantai Ngobaran ini memadukan tebing tinggi dan hamparan pantai membentuk relief keindahan tak terkira.

Nama Pantai Ngobaran berasal dari Kobar (Kobong) yang artinya terbakar. Nama ini konon didasarkan dari terjadinya sebuah peristiwa bakar diri oleh Prabu Brawijaya di pantai Ngobaran tersebut. Tempat persisnya prosesi bakar diri tersebut dilakukan di sebuah kotak batu berisikan pasir yang tak jauh dari mesjid. Wah seru nih,sepertinya kita perlu mengetahui lagi sejarah mengapa raja Brawijaya membakar diri di pantai Ngobaran.

Bila dari arah Yogyakarta sekitar 65 km jaraknya untuk bisa sampai Ngobaran. Bila menelusuri jalan Yogyakarta-Wonosari maka bila sampai Lapangan terbang Gading belok ke kanan saja sampai ketemu simpang 3 kantor Kecamatan menuju kecamatan Playen,Paliyan. Dari kecamatan Paliyan kita belok ke kanan ke arah selatan dan ikuti jalan raya arah Paliyan.Sampai di simpang 3 BRI Paliyan belok kiri beberapa meter ada simpang 3 depan Polsek Paliyan kita belok kanan,lurus saja sampai ketemu pasar Trowono, melewati PUSIKLAT TNI AD dan melewati hutan Sodong yang jalannya menanjak dan berkelok-kelok. Di daerah Sodong masih bisa ditemui hewan kera yang bersembunyi di gua-gua di hutan Sodong. Nah ada simpang 3 lagi yang mana bila belok ke kiri menuju Ngrenehan dan bila belok ke kanan menuju pantai Ngobaran kita ambil yang lurus/jalan kecil ke arah pantai Ngobaran dan Ngrenehan.

Sebelum masuk Trowono akan melewati telaga Namberan sebagai cadangan air masyarakat Trowono dan sekitarnya khususnya untuk minuman ternak , mandi dan cuci pakaian. Masuk Pasar Trowono langsung ke selatan melewati jalan beraspal yang agak sempit ,berkelok-kelok melewati kelurahan Kanigoro Saptosari.Di kanan kiri jalan ditemui pipa-pipa air minum yang dialirkan ke masyarakat dari sumber air di Ngobaran.
Sesampai di Ngobaran akan disuguhi pemandangan yang sangat indah,dari atas bukit kita bisa melihat laut yang sangat luas dengan ombak yang bergulug-gulung.Dipinggir pantai ada hamparan batu cadas yang sangat indah berselimut alba (rumput laut) yang menjadi sumber penghidupan masyarakat sekitar dimana sebagian masyarakat mencari rezeki dengan memunguti ruput laut untuk di jual sebagai tambahan penghasilan.
Alba merupakan bahan baku untuk pembuatan kosmetik. Di antara karang-karang terbentuk kolam-kolam mini sepanjang pantai tempat hidup biota-biota laut seperti lobster dan landak laut (hewan laut dengan duri tajam seperti landak) yang menjadi tumpuan para nelayan darat. Sebagian penduduk juga membuat warung makan dan jasa kamar kecil untuk mandi dan cuci. Sebutan nelayan darat diperuntukkan bagi nelayan yang tidak perlu melaut/berlayar dengan kapal untuk mengekplorasi hasil laut, cukup di pantai saja.

Di warung makan milik penduduk kita bisa menikmati makan nasi dengan lauk ikan laut goreng dengan lalapan sambal trasi dan kobis maupun daun kemangi yang sangat nikmat dan lezat.

Demikian sekilas keindahan pantai Ngobaran Kanigoro Saptosari Gunungkidul Yogyakarta semoga bisa menjadi acuan bagi masyarakat yang ingin berkunjung ke Ngobaran Gunungkidul Yogyakarta.

Thursday, September 22, 2011

PANTAI GUA CEMARA, SATU LAGI WISATA PANTAI DI YOGYA


Wisata di Yogya seperti tidak habis-habisnya, tiga hari kurang nambah seminggu masih kurang juga. Bagi mereka yang suka jalan-jalan wisata di Yogya merupakan pilihan yang tepat, karena begitu banyak pilihan dari wisata gunung, wisata budaya, wisata kuliner, wisata bencana (bekas terjadinya bencana) dan wisata pantai. Di Yogya banyak banget pantai, mungkin yang paling terkenal adalah pantai Parangtritis. Sebetulnya dari segi geografis wilayah Yogyakarta bagian selatan seluruhnya dibatasi oleh pantai selatan yang memanjang dari wilayah Kulon Progo, Bantul sampai dengan Gunung Kidul, tapi kali ini yang dibahas adalah pantai Goa Cemara,pantai ini terletak di Kabupaten Bantul Yogyakarta memang masih baru dan masih banyak yang belum tahu tempat ini.

Pantai ini berada di sebelah barat Pantai Pandansari yang masih berderetan dengan Pantai Samas dan berada disebelah timur Pantai Kwaru. Di sepanjang pantai ini di tumbuhi cemara udang yang rimbun, yang tajuknya saling bergandengan membentuk atap layaknya gua. Nama Goa Cemara memang berasal dari Goa yang terbentuk dari rerimbunan pepohonan cemara udang yang tertanam rapi di sepanjang pinggir pantai kawasan Dusun Patehan Gadingsari Bantul Yogyakarta. Tidak kurang dari 7000 pohon cemara udang memenuhi lahan seluas 20 hektar di pinggir pantai. Karena jarak yang dekat dan saling bertubrukan antara dahan yang satu dan lainnya, maka yang terlihat adalah seperti memasuki suatu gua ketika kita berkunjung ke tempat ini.

Tahun 2001 menjadi awal mula terbentuknya hutan cemara udang ini yang berasal dari ide kreatif warga sekitar yang tergabung dalam Kelompok Tani Raharjo Dusun Patehan untuk memanfaatkan lahan kosong di kawasan pantai. Tidak dinyana, kini hutan cemara pun terbentuk dengan indahnya. Ide pun berlanjut untuk kemudian menjadikannya sebagai kawasan objek wisata dengan pesona keindahan di dalamnya.

Ide awal dari masyarakat sekitar sebetulnya sangat sederhana, yakni bagaimana caranya membuat pemecah angin atau win barrier yang bertiup kencang dari arah laut maupun dari arah darat untuk mencegah pengikisan Gosong (gumuk pasir )yang ada. Solusinya antara lain dengan menanam cemara udang yang memiliki karakter mampu menahan angin agar gumuk pasir yang ada tidak hilang atau terkikis angin, maka jadilah keindahan alam yang sungguh enak untuk dinikmati.
Banyak pasangan muda-mudi terlihat mendominasi pengunjung di pantai Goa Cemara ini, mereka terlihat sangat menikmati semilirnya angin laut di bawah rerimbunan pohon cemara yang menambah suasana romantic yang tidak akan terlupakan.

Seiring dengan perjalanan waktu, kini kawasan ini siap menjadi salah satu objek wisata andalan Bantul selain objek wisata yang lain. Segala fasilitas tambahan siap memanjakan para wisatawan yang ingin berkunjung seperti camping ground, kawasan bermain anak-anak, kuliner khas warga sekitar, dan kawasan hutan itu sendiri.

Sampai saat ini belum dikenakan retribusi tiket masuk dari para pengunjung dan hanya sebatas parkir saja. Tapi untuk camping dikenakan tarif Rp 20 ribu - Rp 25 ribu per orang selama 3 hari 2 malam.

Selain wisatawan yang datang dapat menikmati keindahan hutan cemara, wisatawan juga dapat menikmati sajian tarian khas Patehan berupa Reog, Tari Topeng, Wayang kulit atau orang, Jathilan, dan kesenian lainnya.

Untuk kawasan tepi pantainya sendiri terlihat masih bersih karena petugas kebersihan rajin mengambil sampah-sampah dari pengunjung. Masalah sampah ini seharusnya pemerintah jauh-jauh hari sudah mulai mengedukasi kepada pengunjung untuk tidak membuang sampah sembarangan dan perlu juga pelarangan kepada pengunjung untuk membawa bungkus plastic ke areal pantai.

Sedangkan bagi yang suka mandi di pantai, disarankan untuk tidak mandi di kawasan pantai Gua Cemara ini, disamping karena ombak yang besar juga karena topografi pantai ini curam, sehingga sangat mudah untuk tergelincir dan terseret ombak ke tengah laut. Tapi jangan kawatir anda masih dapat menikmati keindahan panorama alam yang lain di pantai yang indah ini ketika matahari mulai tenggelam. Keindahan Sunset dapat anda abadikan sebagai foto kenang-kenangan yang indah untuk diceritakan ke sanak family di rumah.

Untuk mengunjungi tempat ini tidaklah sulit, saat ini dari pusat kota Yogya ke arah barat sampai ke kawasan bibir pantai kondisi jalannya sudah beraspal dengan mulus. Anda dari kota Yogya ke arah barat dari Wirobrajan terus melalui jalan Wates sampai Sedayu kemudian belok kiri. Kira-kira dari kota Yogya tidak lebih dari 45 menit saja. Silahkan mampir ke pantai ini jika anda berkunjung ke Yogya dan kami tunggu kisah menarik dari anda bersama keluarga.

Friday, May 6, 2011

ANCOL BLIGO DI YOGYA


sumber foto:http://www.jogjatrip.com)

Di Yogyakarta ada Ancol?...Mungkin bagi sebagian orang yang belum pernah berkunjung ke Yogyakarta akan bingung dan mentertawakannya. Dengar nama Ancol yang ada di benak kita adalah tempat wisata di Jakarta sebelah Utara yang sudah popular di hati masyarakat Indonesia. Ancol yang akan kita bicarakan di sini adalah tempat wisata di daerah perbatasan Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo dan juga Kabupaten Magelang.

Di Ancol ini terdapat intake (hulu buatan) dari selokan Mataram dan selokan Van der Wijck. Selokan Mataram dibuat pada masa pemerintahan Jepang th 1942-1945 yang membangun sebuah proyek irigasi yang dikenal dengan “Kanal Yoshiro” atau “Selokan Mataram”. Menurut sejarah, atas hasil kesepakatan Pemerintah Jepang dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Ide kreatif dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX inilah sehingga sebagian besar warga Yogyakarta tidak dikirim ke luar Pulau Jawa sebagai tenaga Romusha karena di Yogyakarta sendiri terapat proyek pembuatan saluran irigasi. Proyek irigasi ini diperuntukkan bagi pengairan sawah-sawah di daerah Yogyakarta sebelah timur, di mana manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang.

Sedangkan untuk daerah Yogyakarta sebelah barat ke selatan, sebagai sumber irigasi memanfaatkan aliran dari selokan Van der Wijck yang hulunya juga sama dengan selokan Mataram. Aliran air saluran irigasi diperoleh dengan cara membendung Kali Progo di Desa Bligo dan mengalirkannya ke saluran irigasi selokan Mataram yang melintasi Yogyakarta dan berakhir di Kali Opak. Begitu pula bendungan Kali Progo ini juga mengalirkan air ke Saluran Van der Wijck yang dibangun oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1914 untuk mengairi persawahan dan perkebunan di daerah Moyudan, Kabupaten Bantul yang waktu itu merupakan daerah industri perkebunan gula. Pabrik gula sekarang yang masih tersisa adalah Madukismo, merupakan pabrik gula milik Kraton Yogyakarta. Setidaknya dahulu di Kabupaten Sleman terdapat 2 pabrik gula yaitu di Cebongan dan Lapangan Sendangrejo (masyrakat menyebutnya “mBabrik” dari kata Pabrik).

Kali Progo memiliki mata air di hutan lereng Gunung Merapi yang selain mengalir ke Selokan Mataram juga mengalir ke laut selatan membatasi wilayah Kabupaten Sleman dan Kabupaten Kulon Progo

KEISTIMEWAAN
Saat ini, Ancol Bligo menjadi obyek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan khususnya pada hari-hari libur. Selain melihat bendungan Selokan Mataram, pengunjung dapat menikmati suasana alam daerah bendungan yang sangat indah. Pemerintah Kabupaten Magelang menyediakan area bermain bagi anak sehingga menjadikan anak-anak lebih kerasan bermain di obyek wisata ini. Meskipun di musim kemarau di bawah bendungan cenderung mengering sehingga terlihat batu-batu vulkanik yang besar-besar. Walaupun dengan debit air yang kecil sungai Progo masih terlihat indahm apalagi pada sore hari. Anda dapat berfotoria di atas bebatuan besar, namun sebaiknya tidak bermain di bawah bendungan tersebut karena sewaktu-waktu Kali Progo dapat dilalui air bah (banjir lahar dingin), apabila di daerah hulu habis dilanda hujan deras.


ARUNG JERAM ANCOL SAMPAI KISIK
Anda juga dapat menikmati aliran sungai Progo ini dengan panorama pedesaan di sepanjang sungai dengan mengarungi jeram-jeram yang ada bersama operator arung jeram “KISIK RIVER CAMP” dimulai dari Bendungan Ancol sampai Kisik. Operator arung jeram sungai Progo ini merupakan satu-satunya di kabupaten Sleman, bila Anda berminat dapat cari informasinya di http://kisikrivercamp.blogspot.com/ atau di facebook http://www.facebook.com/kisik .

RUTE LOKASI
Dari pusat kota Yogyakarta dapat ditempuh sekitar 45 menit sampai ke lokasi, jika Anda berminat berkunjung ke obyek wisata Ancol Bligo, Anda dapat menempuh jalur Magelang – Muntilan – Ngluwar – Ancol Bligo atau Sleman – Tempel – Sendangrejo – Ancol Bligo atau Yogyakarta – Jombor – Balangan – Sendangrejo – Ancol Bligo atau Yogyakarta – Godean – Gedongan – Balangan – Sendangrejo – Ancol Bligo atau jalur lain yang Anda tahu. Selamat berwisata di obyek wisata Ancol Bligo.

Friday, March 25, 2011

DESA WISATA KENTINGAN


KETINGAN merupakan sebuah dusun di wilayah kabupaten Sleman Yogyakarta, tepatnya di kelurahan Tirtoadi kecamatan Mlati. Dari pusat kota Yogyakarta kurang lebih 20 km, sekitar 25 menit ditempuh dengan kendaraan pribadi, maklumlah belum macet. Wilayah Ketingan dan sekitarnya walaupun masih termasuk pedesaan, tetapi geliat roda ekonomi sudah mulai mengarah ke ekonomi perkotaan, salah satu cirinya persawahan dan tegalan yang menghijau sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi tempat hunian atau bangunan pertokoan.
Tetapi ada yang unik dan menarik di dusun Ketingan ini yaitu terkenal dengan sebagai Desa wisata Fauna. Selain bisa terlihatnya ribuan burung bangau yang selalu terbang rendah seolah menghiasi dan memayungi awan Dusun Ketingan. Konon, ribuan burung bangau tersebut merupakan binatang keramat pembawa berkah milik Kraton Yogyakarta yang sengaja diperintahkan oleh Sultan HB X untuk bersarang di wilayah kampung ini. Karena fenomena unik dengan banyaknya bangau yang berterbangan di kampung ini, maka kampung ini pun juga sering disebut dengan nama Kampung Bangau. Lokasinya gampang dilacak melalui Google maps yang memanfaatkan foto satelit. Wisatawan lokal maupun manca banyak yang menikmati atraksi kawanan bangau yang berputar-putar di atas pedukuhan pada malam bulan purnama.
Warga Ketingan yang sudah puluhan tahun berbagi tempat tinggal dengan kawanan burung bangau (blekok) ini. Padahal keberadaan burung yang memenuhi pepohonan di pedukuhan tersebut tidak hanya menebar bau kotoran yang begitu menyengat, tanaman perkebunan seperti melinjo, petai dan tanaman buah tempat bersarang kawanan burung bangau tidak bisa berbuah. Walau wilayah Kampung Ketingan tak begitu luas dan jarak kampung tetangga pun hanya puluhan meter saja, namun burung-burung tersebut seolah enggan beranjak dan tetap bersarang di kawasan tersebut.
Ada beberapa pohon yang dijadikan sebagai tempat bersarangnya bangau-bangau koleksi keraton tersebut, yaitu pohon bambu, pohon mlinjo, pohon johar, pohon flamboyan, dan pohon asem. Selain pohon itu, para bangau nampak enggan hinggap atau membuat sarangnya.
Setiap pagi dan sore hari akan ada kawanan burung Blekok sawah (Ardeola speciosa) yang berterbangan di sekitar pohon-pohon di Ketinagn. Pada pagi hari mereka terbang dari dusun Ketingan menyebar untuk mencari makan, sementara pada sore hari mereka akan kembali menuju dusun Ketingan untuk bersarang. Belum dilakukan perhitungan populasi, namun jumlahnya bisa ratusan ekor.

Tentang Kuntul dan Blekok baca di sini
Tentang Desa Wisata Kentingan baca di sini

Saturday, February 5, 2011

EMPAT MAKAM SUNAN BONANG

Kabupaten Rembang secara alamiah mempunyai sumber daya potensial yang dapat di jadikan sebagai dasar dalam mengembangkan wisata. Keunggulan potensi wisata Rembang berupa paduan antara hamparan pantai dan hasil peninggalan kebudayaan dan sejarah nenek moyang yang bertebaran di wilayah Kabupaten Rembang.



Setiap syawalan / kupatan banyak sekali acara-acara yang di gelar. Khususnya acara lomban dan seperti pada Hari Raya Imlek tahun 2004 kemarin mulai di rintis untuk mengadakan acara sedekah laut antara masyarakat tionghoa dengan masyarakat jawa yang berbaur dengan para nelayan di lingkungan sekitar obyek. Acara sedekah laut merupakan salah satu acara rangkaian perayaan Hari Raya Imlek yang di selenggarakan berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Tionghoa.

Pantai Suko, berada di kawasan kecamatan Sluke kabupaten Rembang ± 24 km dari kota Rembang ke arah timur jurusan Surabaya. Pantai Suko erat sekali dengan nama seorang tokoh pengembara yaitu Sukowati dari Samodra Pasai yang wafat di pantai ini dalam pertempurannya dengan pasukan Majapahit. Di kawasan ini terdapat makam Dewi Siti Kuliyah yang berasal dari Samodra Pasai yang mengmbangan agama Islam di Sluke. Pantai Suko merupakan satu kawasan obyek dan daya tarik wisata yang terdiri dari obyek wisata makam, petilasan dan pasujudan Sunan Bonang, wisata watu layar, pantai binangun. Namun obyek wisata yang belum di kembangkan hingga saat ini adalah pantai binangun, yang masih merupakan hamparan pantai/lahan/perikanan/tanah kosong yang sangat luas.

Didesa Bonang kecamatan Lasem terdapat Bekas pasujudan Sunan Bonang, makam putri campa, dan bende becak. Petilasan Sunan Bonang terletak di sebuah bukit di Desa Bonang Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang 17 Km dari kota Rembang ketimur jurusan Surabaya, terdapat sebuah bangunan musholla yang didalamnya ada sebuah kamar yang berisi batu yang di gunakan Sunan Bonang sebagai sajadah, tempat bertapa atas perintah nabi Hidir. Batu itulah yang di kenal dengan nama pasujudan (tempat sujud kepada Allah SWT) Sunan Bonang. Batu tersebut terdapat lobang-lobang bekas anggota badan Sunan Bonang. Disebelah utara pasujudan Sunan Bonang terdapat makam yang oleh penduduk setempat diyakini sebagai makam Putri Cempo. Makam ini memiliki segi arsitektur yang indah. Empat di antara tiang penyangga makam terbuat dari tulang belakang ikan paus.


Kisah makam empat lokasi


Mereka yang melacak jejak Sunan Bonang setidaknya akan mendapatkan tiga lokasi pemakaman, yang jika para juru kuncinya ditanggapi terlalu serius, tentu akan menjadi bingung - karena tiada cara untuk membuktikan kesahihannya.

Kerancuan ini disebabkan antara lain karena sejak awal tidak
terbedakan, mana yang makam dan mana yang petilasan: tempat para
wali pernah tinggal, mengajar, atau sekadar lewat saja. Meski
begitu, petilasan boleh dianggap tak kalah penting dengan makam,
karena makam sebetulnya hanyalah tempat para beliau dikubur,
sedangkan petilasan justru merupakan atmosfer lingkungan hidup
seorang wali ratusan tahun silam.

Apabila petilasan yang menjadi ukuran, maka jumlah lokasi yang
terhubungkan dengan Sunan Bonang menjadi empat.

Lokasi pertama, dan yang paling populer, adalah makam di belakang
Mesjid Agung Tuban. Barang siapa berkunjung ke sana akan melihat
suatu kontras, antara Mesjid Agung Tuban yang arsitekturnya megah
dan berwarna-warni itu, dengan astana masjid Sunan Bonang di
belakangnya yang sederhana. Di dekat astana mesjid yang mungil
itulah terletak makam Sunan Bonang. Untuk mencapai tempat itu kita
harus menyusuri gang sempit di samping mesjid besar, bagaikan
perlambang atas keterpinggiran alam mistik dalam kehidupan pragmatik
masa kini.

Lokasi kedua adalah petilasan di sebuah bukit di pantai utara Jawa,
antara Rembang dan Lasem, tempat yang dikenal sebagai mBonang, dan
dari sanalah memang ternisbahkan nama sang sunan. Di kaki bukit itu
konon juga terdapat makam Sunan Bonang, tanpa cungkup dan tanpa
nisan, hanya tertandai oleh tanaman bunga melati. Namun atraksi
utama justru di atas bukit, tempat terdapatnya batu yang digunakan
sebagai alas untuk shalat - di batu itu terdapat jejak kaki Sunan
Bonang, konon kesaktiannya membuat batu itu melesak.

Situs ini berdampingan dengan makam Putri Cempo (Cempa, Campa) dan
ini terjelaskan oleh cerita tutur bahwa Sunan Bonang adalah putra
Sunan Ngampel Denta yang berasal dari Cempa. Sunan Bonang telah memindahkan
makam putri Darawati atau Andarawati yang merupakan maktuanya
tersebut dari makam lama di Citra Wulan (bertarikh Jawa 1370 alias
1448 Masehi, mungkin maksudnya di wilayah ibukota Majapahit) ke
Karang Kemuning, Bonang, tak dijelaskan kenapa. Namun keterangan ini
muncul sebagai catatan kaki atas cerita tentang perampasan barang-
barang berharga Demak ketika direbut Mataram, dalam Kerajaan-
Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974)
karya Graaf dan Pigeaud.

Lokasi ketiga adalah makam Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau
Bawean. Ketika melacak ke pulau terpencil antara Jawa dan
Kalimantan tersebut, terdapat dua makam Sunan Bonang di tepi pantai -
dan tiada cara untuk memastikan mana yang lebih masuk akal, meski
untuk sekadar "dikira" sebagai makam Sunan Bonang. Salah satu makam
memang tampak lebih terurus, karena dibuatkan "rumah" dan diberi
kelambu - sedang makam satunya masih harus bersaing pengakuan dengan
spekulasi lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari
Sulawesi yang kapalnya karam di sekitar Bawean.

Dengan begitu, sudah terdapat tiga situs yang disebut sebagai makam
Sunan Bonang. Tentang makam di Bawean terdapat legenda yang bisa
diikuti dari Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa,
Menurut Penuturan Babad (2000) karya Ridin Sofwan, Wasit, dan
Mundiri. Konon setelah Sunan Bonang wafat di Bawean, murid-muridnya
di Tuban menghendaki agar Sunan Bonang dimakamkan di Tuban, tetapi
para santri di Bawean berpendapat sebaiknya dimakamkan di Bawean
saja, mengingat lamanya perjalanan menyeberangi laut. Syahdan, para
penjaga jenazah di Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra)
oleh mereka yang datang Bawean telah disirep (ditidurkan dengan
mantra) oleh mereka yang datangmalam hari dari Tuban.

Dikisahkan betapa kuburan dibongkar {versi lain, dalam Misteri Syekh
Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004)
karya Hasanu Simon, jenazah masih di tengah ruangan dan jenazah
dibawa berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di dekat
astana mesjid Sunan Bonang. Meskipun begitu, menurut para santri
Bawean, yang berhasil dibawa ke Tuban sebetulnya hanyalah salah satu
kain kafan; sebaliknya menurut para santri Tuban, yang terkubur di
Bawean juga hanyalah salah satu kain kafan.

Lokasi keempat adalah sebuah tempat bernama Singkal di tepi Sungai
Brantas di Kediri. Konon dari tempat itu, seperti dituturkan dalam
Babad Kadhiri, Sunan Bonang melancarkan dakwah tetapi gagal
mengislamkan Kediri. Ketika laskar Belanda-Jawa pada 1678 menyerang
pasukan Trunajaya di daerah itu, mereka menemukan mesjid yang
digunakan sebagai gudang mesiu, seperti dilaporkan Antonio Hurdt.
Menurut Graaf dan Pigeaud, "Adanya mesjid yang cukup penting di
Singkal pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat
itu sebagai pusat propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16
menjadi agak lebih dapat dipercaya." Tentang Babad Kadhiri itu
sendiri, yang disebutkan telah dibicarakan G.W.J. Drewes, dianggap
Graaf dan Pigeaud sebagai "kurang penting bagi sejarawan, yang
mencari peristiwa-peristiwa yang serba pasti."

Meskipun Hasanu Simon meragukan Sunan Bonang pernah pergi ke Bawean,
berdasarkan faktor usia dan kesulitan perjalanan masa lalu,
tersebutnya Sunan Bonang di berbagai tempat ini membenarkan penemuan
Graaf dan Pigeaud. "Menurut cerita, Wali Lanang di Malaka memberikan
tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: Santri
Bonang pada umumnya harus menyebarkan (dan memang, kenyataannya
kelak Sunan Bonang banyak menjelajahi daerah-daerah), tetapi Raden
Paku harus menetap di Giri (dan tentang dia tidak diberitakan
perjalanan-perjalanan jauh)." Kedua sejarawan ini juga sama sekali
tidak menghubungkan Sunan Bonang dengan Bawean.

Siapakah Sunan Bonang?
Berdasarkan cerita tutur dari berbagai sumber tersebutkan Sunan
Bonang adalah putra Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama
Nyai Ageng Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari
Majapahit), dan kelak ia menjadi imam yang pertama di Mesjid Demak.
Diperkirakan lahir antara 1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa
pelajaran ditempuh di bawah ayahnya, dengan saudara seperguruan
Raden Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya sendiri adalah
Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak
berputra, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati.

Konon ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya
berguru kepada Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali
Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di Malaka), tetapi yang kemudian
diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM dalam
Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993), "Pada tahun
1503, setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya, dia
berselisih paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu
pindah ke Lasem. Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat
tinggalnya. Di Bonang dia mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat
tafakur), sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya, Tuban."

Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang memberikan Raden Sahid
alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi
pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat
Dermagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negatif
terhadap para wali, seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa,
Silang Budaya 2: Jaringan Asia (1990), Sunan Bonang "digambarkan
sebagai tokoh kasar dan tidak tahu malu." Tentu saja ini bagian
dari "politik dongeng" yang sering bisa dilacak atas berbagai
legenda, mengingat tokoh Sabdopalon dan Nayagenggong dalam karya itu
digambarkan menolak masuk Islam.

Sementara itu, sejauh cerita yang menyebut Sunan Bonang sebagai
putra Sunan Ngampel Denta bisa dipercaya, Sunan Bonang tentu
tergolong keturunan orang Cam - tepatnya keturunan orang asing yang
menyebarkan Islam di Jawa. Mungkinkah ini yang membuat orang
berspekulasi bahwa nama Sunan Bonang berasal dari Lim Bun An bahkan
juga Bong Ang atau Bong Bing Nang, sementara Sunan Ngampel Denta
tersebut sebagai Bong Swie Hoo? Tentu maksudnya bahwa para wali ini
adalah keturunan Tionghoa, seperti disebut tanpa argumentasi
meyakinkan dalam Tuanku Rao (1964) oleh Mangaraja Onggang
Parlindungan maupun dalam Kalidjaga (1956) oleh Hadiwidjaja.

Spekulasi ini hanya meyakinkan sejauh menyangkut Raden Patah, sultan
Demak yang pertama, seperti terbahas dalam Arus Cina-Islam-Jawa:
Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam
di Nusantara Abad XV & XVI (2003) karya Sumanto Al Qurtuby. Tentang
para wali, jangankan sebagai keturunan Tionghoa, sedangkan
keberadaan mereka secara historik saja hanya bisa dibeberkan dengan
spekulasi yang sangat hati-hati, melalui analisis teliti terhadap
sumber-sumber yang nyaris merupakan dongeng. Para sejarawan lebih
cenderung merujukkan cerita tentang ketionghoaan itu, untuk menafsir
fakta keberadaan komunitas Muslim Tionghoa, yang sudah bertebaran di
berbagai daerah pantai di Jawa Timur sejak abad ke-15. Hilda
Soemantri dalam Majapahit Terracotta Art (1997) misalnya menunjuk
keramik "orang berturban" di antara keramik "orang
Tartar", "Tionghoa tertawa", maupun "Tionghoa bertopi", yang
menunjukkan ketertarikan para seniman keramik Majapahit kepada orang-
orang asing, termasuk yang beragama Muslim, di daerah pantai.

Ini tentu saja mendukung "teori Cina" sebagai salah satu teori
tentang kedatangan Islam di Pulau Jawa, terutama melalui Tuban dan
Gresik. Pengembara dari Tiongkok, Ma Huan, mencatat adanya Xin Cun
(Kampung Baru) di Gresik yang berpenduduk seribu orang Tionghoa asal
Guangdong dan Zhangzhou. Sebegitu jauh, pelacakan atas keberadaan
Sunan Ngampel Denta, yang disebut sebagai ayah Sunan Bonang, hanya
terujuk kepada keberadaan bangsa Cam dan terdapatnya poros Jawa
Timur-Campa - dan kitab seperti Serat Dermagandul adalah
bentuk "perlawanan" kepercayaan lama setelah Islam menjadi dominan
di Jawa pada abad ke-19.

Tentang "kitab Bonang"
Sarjana Belanda B.Schrieke menulis tesis Het Boek van Bonang pada
1916, seperti mengandaikan bahwa manuskrip yang dibahasnya adalah
karya atau ajaran Sunan Bonang. Sayang sekali bahwa penamaan "Kitab
Bonang" itu tidak dianggap tepat, juga oleh Graaf dan Pigeaud,
karena tidak ada bukti meyakinkan bahwa naskah itu memang ditulis
oleh Sunan Bonang. Meski begitu, disetujui bahwa manuskrip tersebut
memberi gambaran tentang ajaran Islam macam apa yang dominan
didakwahkan pada abad ke-16, jadi mungkin pula diajarkan seorang
wali seperti Sunan Bonang, sebagai pengenalan pertama kepada orang-
orang yang jika tidak memeluk agama Buddha atau Hindu, tentu memeluk
kepercayaan sebelum agama besar yang mana pun tiba di Jawa.

Tesis Schrieke itu kemudian dikoreksi oleh Drewes, dan diberi
terjemahan bahasa Inggris sebagai The Admonitions of Seh Bari
(1969). Manuskrip yang dimaksud, seperti diuraikan Abdul Hadi WM,
rupanya terdiri dari sejumlah suluk - suatu genre dalam kesusastraan
Jawa, Sunda, dan Madura yang memang muncul pertama kali abad ke-15
bersama penyebaran Islam. Bukan kebetulan agaknya, karena suluk
berarti jalan kerohanian, isinya adalah ajaran-ajaran tasawuf. Dalam
hal manuskrip terbincangkan ini, khususnya yang berjudul Suluk Wujil
(koreksian Purbatjaraka terhadap Schrieke yang menyebutnya Suluk
Dulil), disebutkan Purbatjaraka sebagai ajaran rahasia untuk orang-
orang tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa
dipahami, seperti dapat diperiksa dari kutipan-kutipan berikut:

"Tak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki berada, sekalipun
mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua renta. Mereka tak
akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal
ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah
itu akan menjadi wali.

"Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk
satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang,
maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja.
Namun jika terdapat 10.000 orang bersembahyang di sana, maka Ka'bah
dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia akan
dimasukkan ke sana, maka seluruh dunia akan tertampung juga."

Teks seperti ini, disebutkan Abdul Hadi WM sebagai, "... kerap
menimbulkan persoalan. Baik golongan kebatinan maupun ortodoks
jarang dapat memberi tafsir yang sesuai dan bermanfaat terhadap
hakikat ajaran para sufi." Manuskrip ini disalah tafsirkan Schrieke
sebagai karya Sunan Bonang, kemungkinan besar karena tokoh bernama
Sunan Bonang muncul dalam Suluk Wujil, sebagai guru tasawuf tokoh
Wujil yang berarti cebol. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa
(1952) menduga karya itu ditulis oleh "sastrawan Jawa yang menjadi
murid sang wali". Sementara berdasarkan penelitiannya, menurut
Drewes penulisnya adalah Seh Bari dari Karang, daerah Banten.
Terutama dalam suluk tersebut, unsur-unsur kerohanian Jawa klasik
dan tasawuf Islam terpadukan. Kisahnya sendiri mewadahi gagasan
zaman peralihan: Wujil, seorang terpelajar Majapahit yang
meninggalkan aga Hindu dan beralih menjadi penganut Islam.

Dengan demikian, meski dari sudut ilmu sejarah tidak bisa dipastikan
bahwa Sunan Bonang yang menulis Suluk Wujil, dari manuskrip tersebut
tergambarkan segi-segi wajd (ekstase mistis) dan kasyf
(tersingkapnya mata batin) yang akan membawa seseorang kepada
kesadaran supralogis, atau bisa disebut dimensi mistik, yang layak
diduga sebagai daya tarik bagi orang-orang Jawa abad ke-15 dan 16
untuk menerima Islam.

Monday, January 31, 2011

IKAN DEWA KUNINGAN



Ingat Kota Kuningan Jawa Barat, kita teringat sebuah kota kecil berhawa sejuk di lereng Gunung Ciremai dan juga makanan khas Kuningan yang berupa Tape Ketan yang dibungkus dengan daun Jambu air, tentu saja dengan sensasi rasa yang pasti berbeda dengan tape ketan lainnya.

Lokasi Kabupaten Kuningan, yang terletak di baratdaya Gunung Ciremai, Jawa Barat, memiliki banyak obyek wisata, baik wisata alam, sejarah maupun budaya. Tempat wisata yang dominan di Kuningan dan sekitarnya adalah wisata air di pegunungan antara lain pemandian Cibulan, pemandian Cigugur, pemandian air panas Sangkahurip, pemandian Linggarjati, Si Domba, Paniis, Museum Linggarjati, waduk Darma dan masih banyak lagi.


Salah satu di antara sekian banyak obyek wisata tersebut adalah kolam pemandian Cibulan. Kolam pemandian ini terletak di Desa Manis Kidul, Kecamatan Jalaksana, sekitar 7 kilometer dari Kota Kuningan atau 28 kilometer dari Kota Cirebon. Obyek wisata Cibulan merupakan salah satu tempat wisata tertua di Kuningan. Obyek wisata ini diresmikan pada 27 Agustus 1939 oleh Bupati Kuningan saat itu, yaitu R.A.A. Mohamand Achmad.

Sebagai catatan, selain di Cibulan, terdapat tiga tempat rekreasi sejenis di Kuningan, yaitu: Kolam Linggarjati di kompleks Taman Linggarjati Indah, Kecamatan Cilimus; Kolam Cigugur, di Kecamatan Cigugur; dan Waduk Darma Loka di Kecamatan Darma.

Untuk menuju lokasi pemandian Cibulan, dari Cirebon dapat menggunakan angkutan umum jenis “elf” dengan tarif antara Rp3.000,00-Rp4.000.00 per orang. Namun, jika dari terminal Kuningan dapat menggunakan angkutan kota jurusan Cirendang-Cilimus, dengan tarif antara Rp2000,00--Rp3.000,00 per orang.
Air yang dingin , jernih dan udara yang segar dapat membantu merilekkan kepenatan pikiran dan badan Anda. Anda bersama keluarga dapat menikmati segarnya air kola mini, dan jangan lupa membawa minuman hangat untuk membantu agar putra-putri Anda tidak kedinginan selama berenang di kolam tersebut. Namun Anda tidak usah terlalu risau pada masalah tersebut karena di pinggir kolam tersedia beberapa warung yang menjajakan makanan ringan dan minuman hangat yang siap melayani permintaan Anda.

Kondisi Kolam
Di dalam objek wisata ini terdapat dua kolam besar yang berbentuk persegi panjang. Kolam pertama berukuran 35x15 meter persegi dengan kedalaman sekitar 2 meter. Sedangkan, kolam kedua berukuran 45x15 meter persegi yang dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berkedalaman 60 sentimeter dan bagian kedua berkedalaman 120 sentimeter. Kedua kolam ini selalu dikuras sekali dalam dua minggu, atau bisa lebih. Hal itu bergantung kebersihan air. Setiap kolamnya dihuni oleh puluhan ikan yang berwarna abu-abu kehitaman dan disebut sebagai kancra bodas atau ikan dewa (cyprinus carpico). Ukurannya berbagai macam mulai dari yang panjangnya 20-an sentimeter hingga 1 meter. Ikan Dewa adalah sejenis ikan yang dikeramatkan oleh penduduk di sekitar wilayah Desa Manis Kidul karena dipercaya mempunyai keistimewaan tertentu.
Menurut cerita yang berkembang di kalangan Masyarakat Desa Manis Kidul dan masyarakat Kuningan pada umumnya, ikan dewa yang ada di kolam Cibulan ini konon dahulunya adalah prajurit-prajurit yang membangkang atau tidak setia pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi. Singkat cerita, prajurit-prajurt pembangkang tersebut kemudian dikutuk oleh Prabu Siliwangi sehingga menjadi ikan. Konon ikan-ikan dewa ini dari dulu hingga sekarang jumlahnya tidak berkurang maupun bertambah. Apabila kolam dikuras, ikan-ikan ini akan hilang entah kemana, namun saat kolam diisi air, mereka akan kembali lagi dengan jumlah seperti semula. Terlepas dari benar atau tidaknya legenda itu sampai saat ini tidak ada yang berani mengambil ikan ini karena ada kepercayaan bahwa barang siapa yang berani mengganggu ikan-ikan tersebut akan mendapatkan kemalangan.


Meski semua kolam itu dihuni puluhan ikan kancra bodas atau ikan dewa, kolam-kolam di Cibulan dibuka sebagai kolam pemandian umum. Tempat rekreasi ini dilengkapi pula dengan fasilitas khas tempat pemandian, seperti tempat ganti pakaian, 6 buah kamar kecil dan 2 buah kamar mandi untuk tempat bilas seusai berenang.
Selain kolam dengan ikan dewanya yang jinak, di sudut barat pemandian ini juga terdapat tujuh sumber mata air yang dikeramatkan yang bernama Tujuh Sumur. Tujuh mata air ini berbentuk kolam-kolam kecil yang masing-masing mempunyai nama tersendiri, yaitu: Sumur Kejayaan, Sumur Kemulyaan, Sumur Pengabulan, Sumur Cirancana, Sumur Cisadane, Sumur Kemudahan, dan Sumur Keselamatan. Di antara ketujuh sumur itu, konon ada salah satu sumur yang berisikan Kepiting Emas, yaitu Sumur Cirancana. Apabila ada orang yang sedang mujur dan dapat melihat wujud dari Kepiting Emas itu, maka segala keinginannya akan terkabul.

Tujuh mata air itu terletak mengelilingi sebuah petilasan yang konon merupakan petilasan Prabu Siliwangi ketika ia beristirahat sekembalinya dari Perang Bubat. Petilasan itu berupa susunan batu seperti menhir dan dua patung harimau loreng (lambang kebesaran Raja Agung Pajajaran). Tujuh sumur dan petilasan Prabu Siliwangi ini sering dikunjungi orang untuk berziarah, terutama pada malam Jumat Kliwon atau selama bulan Maulud dalam penanggalan Hijriah. Mereka percaya bahwa air di tempat itu akan membawa berkah dan dapat mengabulkan permohonan mereka.
Air di Cibulan selalu bersih, bening, sejuk, dan melimpah, meskipun pada musim kemarau panjang. Itulah sebabnya, selain sebagai tempat rekreasi, Cibulan juga dijadikan sebagai sumber air untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kuningan dan dimanfaatkan Pertamina untuk memasok kebutuhan air bersih di dua kompleks miliknya, yaitu Padang Golf Ciperna di Kota Cirebon, dan Kantor Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Barat (DOH JBB) di Klayan, Kabupaten Cirebon.
Obyek Wisata Cibulan yang dikelola oleh Pemerintah Desa Manis Kidul ini setiap minggunya mendapat pemasukan rata-rata mencapai Rp1.500.000,00. Uang sebesar itu didapat dari penjualan tiket masuk seharga Rp2.000,00 untuk orang dewasa dan Rp.1.000,00 untuk anak-anak. Namun, pada saat Lebaran jumlah pemasukan bisa mencapai Rp.50.000.000,00 per minggu karena jumlah pengunjungnya naik puluhan kali lipat dibanding hari-hari biasa. Selama masa Lebaran ini harga tiket masuk dinaikkan menjadi Rp3.000,00 untuk orang dewasa dan Rp1.500,00 untuk anak-anak.
Kolam pemandian Cibulan juga menjadi sumber pendapatan bagi penduduk Desa Manis Kidul dengan menjadi pedagang asongan atau membuka warung makan di sekitar tempat itu. Saat ini terdaftar 20 warung permanen di luar komplek kolam dan 14 pedagang asongan resmi yang diizinkan berjualan di dalam kompleks kolam. Mereka kebanyakan menjual minuman ringan dan makanan kecil serta makanan ikan berupa kacang atom dan ikan wader.

Mulai tahun 2010 pemandiaan Cibulan menambah satu wahana yaitu Flying fox yang melintas di atas kolam utama, sebetulnya Pemkab Kuningan bisa saja membenahi lokasi pemandian tersebut selain menambah beberapa wahana permainan anak-anak juga masalah kebersihan perlu di atasi, karena kolam pemandian yang di bawah rindangnya pepohanan besar menimbulkan sampah dedaunan yang bertebaran di samping sampah-sampah yang berasal dari pengunjung, terutama pada saat liburan lebaran perlu kerja extra untuk mengatasi hal tersebut.
Jadi kapan Anda mau ke sana, bersama keluarga….?

informasi selengkapnya

Saturday, January 29, 2011

WISATA ARUNG JERAM



Kehangatan berkemah, aroma kayu api unggun,suara angin di tengah-tengah musik dari aliran sungai yang mengalir, lagu-lagu dari alam membawa penantian akan fajar ? Menunggu fajar untuk menantang jeram sungai Progo.

Kisik River Camp adalah penyedia jasa wisata petualangan dan pendidikan alam, khusus di jeram sungai dan paket pelatihan manajemen outdoor.

Didirikan oleh orang-orang yang telah terlibat dalam petualangan hijau dan kegiatan outdoor selama bertahun-tahun. Kisik River Camp menyediakan kegiatan yang memiliki nilai pendidikan peduli lingkungan.

Kisik River Camp memiliki komitmen bahwa kegiatan kami harus memiliki umpan balik yang berguna bagi lingkungan, seperti pelanggan harus menanam pohon di tepi sungai atau melepas ikan ke sungai. Kisik River Camp juga memiliki prioritas keselamatan dan kenyamanan bagi pelanggan.



Kisik River Camp menantang anda untuk petualangan yang menyenangkan dalam arung jeram ke jeram yang penuh tantangan dan menakjubkan dengan air sungai jernih. Aliran sungai akan membawa Anda pada pengalaman menyenangkan selama liburan Anda di Yogyakarta.

Kisik River Camp menawarkan kesempatan untuk mencoba petualangan air yang seru, rasa penat dan stress karena pekerjaan terbayar sudah dengan menikmati semua tantangan dan pesona sepanjang perjalanan. Sungai Progo menyediakan petualangan air yang menantang dengan pemandangan yang menakjubkan dan asri selama arung jeram.

Kisik River Camp dapat ditempuh sekitar 30 menit dari pusat kota Yogya, tepatnya ke arah barat kota Yogya. Kisik River Camp merupakan operator arung jeram satu-satunya di kota Gudek yang akan membawa Anda untuk bersama-sama menikmati pesona alam Indonesia.

Untuk informasi dapat juga diperoleh klik di sini

Friday, January 28, 2011

GEOWISATA YOGYA

Gunung Api Purba di Nglanggeran Yogyakarta merupakan sebuah kawasan atau situs warisan geologi (geological heritages) yang mempunyai nilai ekologi dan warisan budaya (cultural heritages) dan merupakan kawasan yang cocok untuk edukasi masalah geologi (geowisata).



Nglanggeran merupakan daerah kawasan wisata. Daerah ini merupakan kawasan yang batu-batuannya tersusun oleh material vulkanik tua. Orang geologi menyebutnya Formasi Nglanggeran. Daerah ini memiliki morfologi yang unik dan juga dari sisi geologi sangat unik serta memiliki cerita ilmiah.

Kajian Ilmiah (sumber referensi)
Menurut kajian geologi daerah ini, Gunung Nglanggeran adalah Gunung Berapi Purba. Usia gunung ini menjadi menarik bagi ilmuwan geologi karena ingin mengetahui genesa (pembentukan) gunung api ini serta memperkirakan bagaimana kondisi tektonik pada saat gunung Nglanggeran ini masih aktif. Kajian awal dahulu memperkirakan usia Gunung Nglanggeran ini sekitar 50 JUTA tahun. Namun kajian terbaru menemukan gunung ini sudah mati sejak 18 juta tahun yang lalu.
Menurut Awang Harun Satyana, seorang ahli geologi Indonesia, Formasi Nglanggeran dan formasi-formasi Kebo Butak serta Semilir merupakan produk volkanisme Oligo-Miosen yang untuk pertama kalinya oleh Verbeek dan Fennema (1896, diteliti lagi oleh Bothe, 1929, 1934, dan dikompilasi van Bemmelen, 1949) disebutnya sebagai OAF (Oud Andesiet Formatie - Old Andesite Formation atau OAF. Ini adalah volkanisme submarin (van Bemmelen, 1949) yang bersifat turbidit.



Turbitdit itu merupakan batuan sedimen yang diendapkan pada kondisi arus turbit, atau olakan. Ini sering terdapat di laut dalam karena paparan yang longsor.
Dalam teori plate tectonics, OAF dan semua formasi ekivalensinya di Jawa Barat (Jampang, Gabon) serta di Jawa Timur (Puger) (lihat evaluasi regional yang pernah dipublikasikan di Proceedings PIT IAGI 2003: Satyana dan Purwaningsih, 2003, Oligo-Miocene Carbonates of Java: Tectonic Setting and Effects of Volcanism) merupakan jalur volkanik berumur Oliogo-Miosen (Oligosen Akhir-Miosen Awal) yang sekarang menjadi fisiografi Pegunungan Selatan di selatan Jawa. Jalur volkanik sejajar poros panjang Jawa ini timbul karena partial melting yang dialami kerak samudera Hindia di kedalaman 100-200 km di bawahnya dengan zona subduksinya di submarine ridge selatan Jawa sekarang. Berdasarkan umur mutlak menggunakan K-Ar (Soeria-Atmadja, 1994) volkanisme ini berakhir pada 18 Ma (Miosen Awal bagian bawah).
Setelah itu, pada 12 Ma (Miosen Tengah) mulai terjadi pelandaian kemiringan penunjaman (zone Wadati-Benioff) sehingga zone partial melting ikut bergerak ke arah utara dan menghasilkan volkanisme umur Miosen Tengah yang ternyata menerus sampai Kuarter dan meninggalkan jalur volkanik Nglanggeran serta pusat2 erupsi di sekitarnya. Perpindahan jalur volkanik sekitar 50-100 km ke arah utara ini telah menonaktifkan semua gunungapi di jalur selatan – tak ada feeder magma hasil partial melting ke gunung2api ini.



Gunungapi juga bisa mati
Tidak selamanya gunungapi itu hidup dan aktif, ada masa-masany asebuah gunung api itu lahir, aktif akhirnya tertidur pulas dan mati. Secara mudah penjelasan diatas dapat digambarkan seperti dibawah ini.


Matinya Gunung Nglanggeran
Ketika zona subduksi itu sangat aktif maka material-material yang masuk kedalam bumi makin lama semakin maju menuju kerak benua. Bisa saja sudut penunjamannya semakin melandai dan akhirnya lokasi jalur penunjaman berubah seolah bergerak kearah kanan.
Yang diatas itu merupakan penjelasan matinya gunung-gunung api aktif akibat pergeseran zona subduksi atau zona penunjaman yang bergeser maju atau bergerak ke kanan. Namun dapat juga sebuah penunjaman bergerak mundur atau kekiri seperti dibawah ini.



Matinya gunungapi karena pergeseran zona subduksi
Untuk contoh kedua yang digambarkan oleh ilustrasi diatas salahsatunya menggambarkan kemungkinan terjadinya atau dongengan mekanisme tidurnya Gunung Muria di sebelah utara Pulau Jawa.



Dengan demikian pengetahuan tentang gunungapi akan sangat membantu dalam menelaah sejarah tektonik disebuah daerah. Itulah sebabnya banyak sekali penelitian-penelitian gerakan lempeng tektonik yang menggunakan penelitian gunungapi purba termasuk penelitian disekitar Gunung Nglanggeran.

Nah semua itu tentusaja ditelaah dengan melihat bagaimana gunung-gunung itu bergerak. Nah kalau memang bener-bener setiap lempeng ini bergerak maka akan menarik kalau melihat wajah bumi nanti. Kalau penasaran silahkan baca ini :
Wajah Bumi 250 juta tahun lagi (Benua Masa Depan !) silahkan cari di Google yach

Jadi bagi yang ingin berwisata sambil mengkaji masalah fenomena alam, silahkan datang ke Yogyakarta, dan masih banyak lagi pilihan mau berwisata pantai, museum, budaya, gunung maupun kali (sungai) semua tersedia. Dan tidak usah takut kelaparan, karena wisata kuliner dengan selera yang menggiurkan banyak betebaran di sentra-sentra wisata.

Siapa lagi yang akan mencintai alam Indonesia kalau bukan Anda semua!. Indonesia pernah berencana mengusulkan beberapa kawasan menjadi taman bumi atau geopark sejak 2008 silam. Kawasan itu antara lain Gunung Rinjani (NTB), Gunung Batur (Bali), dan Kawasan Karst Pacitan (Jawa Timur). Tetapi hingga bertahun berlalu, rencana itu tinggal rencana. Konon gagalnya usulan Gunung Rinjani sebagai geopark dunia terbelit masalah dokumen teknis yang diajukan pemerintah pada UNESCO kurang lengkap. Masasih???